Check This Out

Check This Out Bro & Sis

Selasa, 29 Agustus 2017

Tata Cara Pemeriksaan Keselamatan atas Instalasi

UU Nomor 22 Tahun 2001 Pasal 40 Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap mempunyai kewajiban untuk menjamin standar, mutu yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan kaidah keteknikan yang baik serta menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundang-undngan yang berlaku dalam kegiatan usaha migas.

Pemeriksaan Keselamatan Kerja adalah pemeriksaan teknis mengenai kemampuan kerja suatu instalasi, peralatan dan teknik yang dipergunakan dalam operasi pertambangan minyak dan gas bumi yang menyangkut segi keselamatan kerja dan keselamatan lingkungan. (Peraturan Menteri Pertambangan & Energi No. 06P/0746/M.PE/1991 Pasal 1)

Terhadap instalasi, peralatan dan teknik yang dipergunakan dalam operasi pertambangan minyak dan gas bumi wajib dilaksakanan pemeriksaan keselamatan kerja.  

Ada 4 aspek penting yang menjadi prioritas utama diantaranya adalah Aspek Keselamatan Kerja, Lingkungan, Peralatan & Instalasi serta aspek keselamatan secara umum.

Tata Cara Pemeriksaan Keselamatan atas Instalasi
Peraturan Menteri Pertambangan & Energi No. 06P/0746/M.PE/1991 --> SKPI ( Sertifikat Kelayakan Penggunaan Instalasi (SKPI), Surat Keputusan Dirjen Migas No. 84K/38/DJM/1998.

Untuk menjamin keselamatan instalasi tersebut, Maka semua instalasi Migas diwajibkan memiliki SKPI dan untuk memperoleh SKPI ini maka semua instalasi harus memenuhi persyaratan mulai dari aspek design dan rancang bangun hingga pengoperasiannya. Aspek yang dinilai dalam prosedur tersebut antara lain:
  1. Desain dan Rancang Bangun : Dasar Rancangan (Basic Design & Criteria), Data Lingkungan (Environment Data), Dokumen Process Flow Diagram (PFD), Dokumen P&ID, Desain Perpipaan & Perhitungannya, Desain Struktur, Gambar Desain terakhir, Diagram Listrik, Klasifikasi daerah berbahaya, Diagram Cause & Effect, Prosedur evakuasi darurat dan Tata Letak Pertanahan.
  2. Izin Operasi : AMDAL/UKL-UPL, Bahan Radio Aktif & Peledak
  3. SKPP (Sertifikat Kelayakan Penggunaan Peralatan) : Katup pengaman bertekanan (PSV), Bejana Bertekanan, Alat Angkat & Angkut, Pompa & Kompresor, Perpipaan, Pembangkit Tenaga, Pusat pengendali motor, Switchgear Unit.
  4. Non SKPP : Sistem perpipaan, instrumentasim Detektor api & asap serta ultra violet, Sistem Komunikaso, APAR, Alat Keselamatan Kerja,Sistem Penghentian Darudat, Peralatan Navigsasi Peralatan Penanggulangan Pencemaran, Sistem obor pembakar gas/flaring, Tangga dan Pagar.
  5. Pre Comissioning & Commisioning : Uji kebocoran, Pengetesan getaran, Test Penerimaan, Test semua perkabelan dan pengetesan alat pemadan kebakaran.
  6. Safety Management System : Uraian Fasilitas, SMK & Formal Safety Management.
Maka dari uraian diatas dapat digambarkan bahwa aspek keselamatan proses wajib dilaksanakan oleh semua industri yang berisiko tinggi atau menggunakan bahan berbahaya.

Semoga Bermanfaat & Terima KasihAndry Kurniawan, SKM.,MKKK."Coming together is a beginning, Keeping together is progress., Working together is success“ Safety not only about knowledge and how to manage risk it’s about needed because safety is everybody business",More info: Andryzsafety@gmail.com, CP : (+62)81219662291Tidak dilarang untuk mengcopy dan menyebarkan artikel pada situs ini dengan menyebutkan URL sumbernya. budayakan menulis karya ilmiah tanpa plagiarisme

APAR (Alat Pemadam Api Ringan) atau Fire Extinguisher

Pengertian APAR (Alat Pemadam Api Ringan) atau Fire Extinguisher
Berdasarkan Permenakertrans No. 04/Men/1980 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1, (1) APAR ialah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu orang untuk memadamkan api pada mula terjadinya kebakaran.

Sedikit Flash back tentang kebakaran merupakan proses reaksi kimia antara bahan bakar (fuel), oksigen dari udara (O2) dan sumber panas (Heat). sehingga penyalaan dapat terjadi jika ada 3 unsur tersebut yang umumnya dikenal segi tiga api (Fire Triangle) akan tetapi terdapat pula konsep  (Fire Hexagonal) dengan menambah unsur ke-4 yaitu reaksi berantai (Chain Reaction) sebagai syarat suatu terjadinya suatu proses kebakaran. Perlu di ingat bahwa proses penyalaan suatu bahan bakar ditentukan oleh tiga faktor utama diantaranya adalah Titik Nyala (Flash Point), Batas Nyala (Flammable Range) dan Titik Nyala Sendiri (Auto ignition).

Apa itu (Fire Rating) ? Kemampuan alat pemadam untuk memadamkan kebakaran yang diberi kode huruf dan angka contohnya 2A 10B, 3A 15B, 4A 20B dsb.  Huruf menunjukkan kelas kebakaran & Nomor menunjukkan ukuran besarnya api yang dapat dipadamkan.

Bagaimna menentukan (Fire Rating), Tentunya penentuan (Fire Rating) berdasarkan hasil pengujian yang disesuaikan dengan kelas kebakarannya yaitu A,B,C & D (Coba kembali dilihat mengenai Penggolongan Kebakaran) - Permenakertrans No. 04/Men/1980 Bab I Ketentuan Umum Pasal 2 yaitu A. Kebakaran bahan padat kecuali logam (Golongan A); B. Kebakaran bahan cair atau gas yang mudah terbakar (Golongan B); C. Kebakaran instalasi listrik bertegangan (Golongan C) & D. Kebakaran logam (Golongan D).

Untuk kebakaran Golongan A, Pengujian dilakukan dengan membakar tumpukan kayu (Material kelas A) dengan Volume tertentu yang kemudian dibakar selama 10 Menit, Untuk kebakaran Golongan B, Pengujian dilakukan dengan menggunakan bahan bakar jenis premium (fuel gas) yang dibakar dalam bak dengan luas tertentu selama 3 menit, Untuk kebakaran Golongan C, Pengujian dilakukan dengan menggunakan instalasi listrik ber tegangan 10.000 volt & Untuk kebakaran Golongan D tidak dilakukan pengujian tertentu.

Rating APAR - Kebakaran Golongan A,
Maksud dari Rating 1-A adalah kemampuan APAR tersebut setara dengan APAR berisi air 1-1.25 Galon. Contoh Rating 2-A menjelaskan bahwa media pemadam tersebut setara dengan 2.5 galon air dan mampu memadamkan 2X APAR Rating 1-A pada kelas yang sama. Perlu di ingat bahwa bahan bakar yang digunakan  dalam pengujian ini adalah kayu yang disusun dengan konfigurasi tertentu. untuk standar rating sendiri tentunya bervariasi - UL Rating -Amerika 1A- 40-A sedangkan (CEN/ Rating Commite de Normalization) ada yang mulai dari 3A sampai dengan 55-A. Jadi Jangan Bingung Lagi jika rating APAR 40-A maka APAR tersebut memiliki kemampuan memadamkan kebakaran Golongan A yang setara dengan 40 x 1.25 US galon air = 50 U.S galon Air.

Rating APAR - Kebakaran Golongan B,
Maksud dari Rating 1-B adalah kemampuan APAR tersebut untuk memadamkan kebakaran golongan-B seluas 1 ft2 oleh seseorang yang belum Ahli, dimana beberapa pendapat mengatakan seseorang yang belum ahli dianggap memiliki 40% kemampuan dari seseorang yang ahli.  Perlu di ingat bahwa bahan bakar yang digunakan  dalam pengujian ini bahan bakar cair.  untuk standar rating sendiri tentunya bervariasi  UL Rating - Amerika : 1-B sampai 640-B & CEN/ Rating Commite de Normalization) ada yang mulai dari 8-B sampai dengan 233-B. Jadi Jangan Bingung Lagi jika rating APAR 40-B maka luas kebakaran golongan B yang dapat dipadamkan oleh personal yang belum ahli adalah seluas 40 ft2.

Penempatan APAR 
Hampir kebanyakan dari praktisi didalam menentukan jumlah APAR mengabaikan Rating APAR padahal Rating APAR ini sangat penting untuk merancang kebutuhan & penempatan APAR disuatu area atau ruangan/ fasilitas. Untuk Referensi peraturan di Indonesia dapat merujuk Permenakertrans No.04/Men/1980 tentang syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan APAR.

NFPA 10 Menetapkan standar jumlah Alat Pemadam berdasarkan klasifikasi hunian :


















Contoh :
Bangunan dengan ukuran 150 x 450 ft ( 46 x 137 mtr) dengan luas area lantai 67,500 ft2 (6270 m2). dengan menggunakan dasar luas lantai 11,250 ft2, kebutuhan APAR dapat dihitung sebagai berikut : Kebutuhan APAR : 67,500 ft2/ 11,250 ft2 = 6 Maka Lihat tabel diatas, Jadi berdasarkan perhitungan maka dibutuhkan APAR untuk bahaya kebakaran ringan, bahaya kebakaran sedang, bahaya kebakaran besar masing-masing 6 buah. dimana 6 buah untuk APAR Rating 4-A untuk bahaya kebakaran ringan, 6 buah untuk APAR Rating 10-A  untuk bahaya kebakaran sedang, 6 buah untuk APAR Rating 20-A untuk bahaya kebakaran besar. Akan tetapi, Penempatan APAR juga perlu diperhatikan contoh persyaratan penempatan APAR pada Permenakertrans No.04/Men/1980 Bab II Pemasangan Pasal 4 (5) Jarak antara alat pemadam api yang satu dengan lainnya atau kelompok satu dengan lainnya tidak boleh melebihi 15 meter. maka jika jumlah APAR tidak dapat memenuhi jarak minimal tersebut maka jumlah APAR tentunya harus di tambah dengan cara menurunkan perhitungan dengan basis 2A dengan luas 6000 ft2 dimana : Kebutuhan APAR 67,500 ft2/ 6,000 ft2 = 12 Maka lihat lagi tabel diatas. maka dibutuhkan APAR 12 buah untuk APAR Rating 2-A untuk bahaya kebakaran ringan, 12 buah untuk APAR Rating 4-A  untuk bahaya kebakaran sedang, 12 buah untuk APAR Rating 6-A untuk bahaya kebakaran besar.

Jenis APAR yang sering digunakan :

  1. Alat Pemadam Air Bertekanan dimana APAR jenis ini tersedia dalam ukuran 2.5 galon (9.5) liter dengan nilai kemampuan pemadaman 2A, APAR ini mempunyai kemampuan hanya untuk kelas A,  APAR ini biasanya bertekanan sampai dengan 100 psi, Berat APAR ini sekitar 35 lb dalam keadaan penuh dengan daya semprot efektif kira-kira 40 feet (9-10 meter) dengan waktu pemakaian sekitar 1 menit. Rating APAR dengan berat 10 liter - 2A & 15 liter- 3A
  2. Alat Pemadam Api Karbondioksida (CO2 -Carbon Dioxide) dimana APAR jenis karbondioksida tersedia dalam ukuran dari (1.2 kg - 9.1 kg) 2.5 - 20 lb yang dapat dijinjing dan  (23 kg - 68 kg) 50 -150 lb untuk yang menggunakan roda. Biasanya untuk yang diangkat nilai ratingnya antara 1 - 10B:C dan untuk yang menggunakan roda dari 10 - 20B:C, Tipe APAR ini berisi CO2 dibawah tekanan uapnya ( vapour density) Lama penyemprotan sekitar 8-30 detik dengan jarak penyemprotan sekitar 3-8 feet atau 1-2.4 meter. Rating APAR dengan berat 2 Kg - 1B,1C & 10 Kg - 2B,2C.
  3. Alat Pemadam Api Bubuk Kimia Kering, APAR ini tersedia dalam 2 jenis yaitu bertekanan (pressurized) dan penekan (cartridge), APAR bertekanan (pressurized) didalamnya sudah diberi tekanan dengan menggunakan gas yang berfungsi untuk menekan media pemadam agar keluar dari tabung, gas yang biasa digunakan biasanya jenis nitrogen yang bersifat iner dan tidak merusak bahan sedangkan penekan (cartridge) didalam tabung  terdapat gas berisi CO2 bertekanan tinggi , dimana pada saat dioperasikan  gas dari tabung ini akan terbuka sehingga gas memasuki tabung dan menekan media pemadam hingga keluar. Rating APAR Berat 0.5 Kg - 1B,C, 1 Kg - 2B,C , 2 Kg - 4B,C , 5 Kg - 7B,C, 15 Kg - 20B,C.
  4. Alat Pemadam Api Busa, APAR ini ada 2 macam yaitu AFFF (Aqueous Film Forming Foam) dan Busa Kimia. APAR AFFF berukuran 2.5 galon dengan kemampuan 3A:20B dan 33 galon dengan kemampuan 20A:160B. Media pemadam adalah campuran Aqueous Film Forming dengan air yang akan membentuk busa mekanis bila disemprotkan melalui (nozzle). 

Insya Allah Bersambung di Sistem Proteksi Kebakaran Lainnya:
Part-2 APAR, Sistem Deteksi, Sistem Alarm, Sistem Air Pemadam, Sistem Pemadam Otomatis/Tetap dan sistem Pemadam Bergerak/Manual

References '
Risk Based Process Safety Management
http://engineeringbuilding.blogspot.co.id/2011/06/penentuan-lokasi-penempatan-apar-dalam.html
Permenakertrans No. 04/Men/1980
http://wahedlabstechnologies.blogspot.co.id/2012/06/menentukan-jumlah-dan-lokasi-peletakan.html

Semoga Bermanfaat & Terima Kasih
Andry Kurniawan, SKM.,MKKK.
"Coming together is a beginning, Keeping together is progress., Working together is success“ Safety not only about knowledge and how to manage risk it’s about needed because safety is everybody business",
More info: Andryzsafety@gmail.com, CP : (+62)81219662291
Tidak dilarang untuk mengcopy dan menyebarkan artikel pada situs ini dengan menyebutkan URL sumbernya. budayakan menulis karya ilmiah tanpa plagiarisme 

Minggu, 13 Agustus 2017

Bekerja di Atas Ketinggian / Working at Height - Part 2

Lanjutan - Bekerja di Atas Ketinggian Part 1


Peraturan OSHA (29 CFR 1926.500-503) mengharuskan Anda melakukan tindakan pencegahan khusus untuk melindungi karyawan yang bekerja di tempat yang tinggi. Berikut adalah garis besar dari apa OSHA (dan praktik sederhana yang baik) yang dibutuhkan untuk menghindari jatuh dari ketinggian.
Ketika suatu pekerjaan berpontesi menghasilkan risiko seperti terjatuh dari ketinggian  lebih dari sama dengan 6 feet/ 1.8 meter atau dari tepi yang tidak terlindungi, Maka salah satu standard yang menjadi acuan saya adalah OSHA yang memberikan persyaratan untuk menggunakan satu atau lebih dari tiga sistem pencegahan jatuh/ primary fall prevention systems yaitu dengan menggunakan sistem guardrail, safety net system, atau sistem personal fall arrest system untuk melindungi pekerja.

Pagar pembatas umumnya mempunyai tinggi 42 inches/ 1.04 meter dan harus mampu menahan kekuatan minimal 200 pounds/ 90.72 kg/0.88kN. & jika tidak ada dinding atau tembok pembatas minimal setinggi 21 inches/0.53 meter yang melindung bagian tepi, maka anda harus memasang midrails atau screen antara top rails dan working platform untuk mencegah jatuh.

Midrails,screens, mesh, intermediate vertical members, solid panels, dan struktural setara harus mampu menahan kekuatan minimal 150 pounds/68 Kg/0,66kN yang diterapkan dalam arah ke bawah atau ke luar pada titik manapun.Sepanjang midrail 29 CFR 1926.502 (b) (5).

Jaring pengaman biasanya terbuat dari rope mesh/ tali mesh dirancang untuk menangkap pekerja jika jatuh. Bukaan mesh tidak lebih dari 36 inci persegi. Jaring pengaman harus ditempatkan 30 feet (9.1 meter) atau kurang dibawah working platform dan cukup kuat untuk menangkap pekerja yang jatuh. akan tetapi jika jaring tersebut belum disertifikasi, maka uji dengan menjatuhkan sekantong pasir dengan berat sekitar 400 pounds (181,44 kg/1.7kN) dari 30 inches/0.76 meter dari working platform. OSHA mengharuskan Anda untuk memeriksa jaring setidaknya setiap minggu sekali.

Jaring pengaman dirancang untuk meregangkan secara progresif dan menyerap energi jatuhnya, sehingga orang yang terjatuh cenderung tidak terluka. Semakin tinggi jatuhnya, semakin besar dampaknya; Jadi defleksi jaring pengaman juga harus lebih besar dimana jaring pengaman harus bisa menyerap seluruh energi dari dampak jatuh hingga tinggi jatuh maksimum. Untuk pemilihan safety net saya merekomendasikan mengacu kepada BS EN 1263-2:2014 dimana klasifikasi jaring pengaman dibagi menjadi 4 kelas :
  • Kelas A1 (Kapasitas penyerapan energi 2.3 kJ dgn ukuran mesh 60 mm),
  • Kelas A2 (Kapasitas penyerapan energi 2.3 kJ dgn ukuran mesh 100 mm)
  • Kelas B1 (Kapasitas penyerapan energi 4.4 kJ dgn ukuran mesh 60 mm),
  • Kelas B1 (Kapasitas penyerapan energi 4.4 kJ dgn ukuran mesh 100 mm)

Kedua kelas jaring A1 dan A2 cocok untuk jaring pengaman sistem. Jaring Kelas A2 paling umum digunakan karena ukuran mesh lebih besar dan lebih ringan
Tali Mesh harus dibuat dari setidaknya tiga helai yang terpisah, dikepang sehingga tidak bisa terurai. Tali tepi adalah tali kontinyu yang melewati setiap jala di sekeliling tepi pengaman. Ini harus memiliki kekuatan tarik minimum 30kN, Tali pengikat mengikatkan jaring pengaman ke elemen struktur dan / atau titik jangkar pada struktur yang terjaring. Mereka harus memiliki kekuatan tarik minimum 30kN, Tali kopling  harus memiliki kekuatan tarik minimum 7.5kN dan semua diuji menurut BS EN 1263-1

Semua jaring pengaman harus memiliki label yang menunjukkan: Nama produsen dan kode artikel, tanggal pembuatan, kelas dan ukuran, ukuran mesh dan konfigurasi, nomor seri (ID), kapasitas penyerapan energi minimum dan Label harus melekat secara permanen ke jaring dan terbaca.

BS EN 1263-2 hanya berlaku untuk jaring pengaman di atas 35 meter persegi dan di mana sisi terpendeknya setidaknya 5,0 metres. Jika ketinggian jatuh lebih dari 2,0 meter, jaring pengaman harus: lebih besar dari 35 meter persegi, memiliki sisi terpendek paling sedikit 5.0 Meter, dan memiliki jarak tempuh maksimum 2,5 meter.

Jaga agar ketinggian jatuh serendah mungkin dengan memasang jaring pengaman sedekat mungkin di bawah platform kerja. Bila memungkinkan, memasang jaring tidak lebih dari 2,0 meter di bawah platform kerja. Perhatikan bahwa BS EN 1263-2 memungkinkan ketinggian jatuh maksimum 6.0 meter namun hal ini hanya berlaku untuk jaring yang lebih dari 35 meter persegi

Personal fall arrest systems memberikan perlindungan jatuh. Pekerja memakai body harness yang terhubung dengan  lifeline/tali pengikat ke fixed anchor. anchor harus mampu menahan kekuatan 5000 pounds (2268 kg/ 22.2 kN) dan lifeline harus terbuat dari webbing atau memiliki inti kawat jika bisa bersentuhan dengan ujung yang tajam. Sistem penangkapan jatuh ini dirancang untuk beraksi pada saat seorang pekerja jatuh 6 feet/ 1.8 meter dan sebelum kontak dengan tingkat yang lebih rendah.

Ketika anda memilih untuk menggunakan Personal fall arrest systems  sebagai alat perlindungan pekerja, maka :
  • Batas maksimal kekuatan penangkapan pada seorang pekerja menjadi 1,800 pounds/816,47 Kg/8,00 kN  29 CFR1926.502(d)(16)(ii)
  • Terikat kuat agar pekerja tidak jatuh bebas lebih dari 6 kaki / 1,8 meter atau tidak menyentuh tingkat yang lebih rendah. 29 CFR 926.502 (d) (16) (iii).

Sistem pencegahan jatuh sekunder harus digunakan saat sistem primer tidak praktis. OSHA mengizinkan sistem yang dipantau berikut, yang lebih bergantung pada keterlibatan pekerja dan kurangnya engineering control, ketika pagar pembatas, jaring, atau personal fall arrest systems tidak praktis:
  1. (Controlled access zones) Zona akses terkontrol adalah area dimana pekerjaan tertentu dapat dilakukan tanpa pagar pembatas, jaring pengaman, atau sistem penangkapan jatuhnya pribadi. Seperti namanya, area ini harus terlarang bagi semua kecuali pekerja yang diberi wewenang khusus. Garis tali, kawat, atau pita meluncur dari zona ini. Garis harus paling tidak 6 feet/ 1.8 meter dari tepi dan terhubung ke sistem pagar pembatas atau dinding pada setiap ujungnya.
  2. Safety monitoring adalah bentuk lain dari perlindungan jatuh yang diizinkan oleh OSHA ketika tiga metode perlindungan primer tidak praktis atau akan menciptakan bahaya yang lebih besar daripada yang akan dicegahnya. Pemantauan keselamatan menempatkan orang yang terlatih dengan pekerja di permukaan yang tinggi. Tugas orang ini adalah mencari bahaya  dan memperingatkan pekerja saat mereka mendekati bahaya.
  3. Warning line systems melibatkan penggunaan tali, kawat, atau penghalang rantai yang mengingatkan pekerja pada sisi atau tepi atap yang tidak terlindungi. Garis peringatan harus paling tidak 6 feet/ 1.8 meter dari tepi atap dan mengelilingi semua sisi area kerja atap. OSHA mengatakan, bagaimanapun, bahwa garis peringatan saja tidak cukup. Mereka harus selalu digunakan dengan pemantauan keselamatan atau satu atau lebih dari tiga alat utama perlindungan jatuh.
  4. (Hole covers) Lubang penutup harus digunakan untuk mencegah pekerja jatuh melalui lubang seperti di lantai atau atap. Penutup harus diberi kode warna dan / atau diberi label ("lubang" atau "penutup") sehingga pekerja tahu ada bahaya. Lubang penutup harus diamankan agar tidak bergerak tanpa sengaja, dan mereka harus dapat mendukung 2 x berat pekerja, peralatan, dan bahan yang dapat ditempatkan pada mereka pada satu waktu.
Bersambung di Tulisan ke 3, Insya Allah
Jangan Lupa di subscribe & follow ych rekan-rekan

Andry Kurniawan SKM.,MKKK"Coming together is a beginning, Keeping together is progress., Working together is success“ Safety not only about knowledge and how to manage risk it’s about needed because safety is everybody business

Tidak dilarang untuk mengcopy dan menyebarkan artikel pada situs ini dengan menyebutkan URL sumbernya. budayakan menulis karya ilmiah tanpa plagiarisme.

Jumat, 11 Agustus 2017

Piramida Kecelakaan Klasik/ Rasio Kecelakaan Heinrich (Classic Safety Pyramid/Accident Ratio)

Herbet William Heinrich (1886 – June 22, 1962),
Salah satu pelopor keselamatan industri Amerika dari tahun 1930an, Dia adalah Superintendent of the Engineering and Inspection Division of Travelers Insurance Company yang kemudian mengembangkan studi empiris didalam bukunya Industrial Accident Prevention, A Scientific Approach pada tahun 1931 yang kemudian dikenal dengan Heinrich's Law atau istilah lain yang dikenal dikalangan praktisi & akademisi dengan Safety Triangle/Classic Safety Pyramid/Accident Ratio dimana Heinrich's Law menjelaskan bahwa dimana untuk setiap 300 non-injury accident dapat mendorong terjadinya 29 Minor Injuries (Cidera ringan) dan dari setiap 29 minor injuries (luka ringan) akan mendorong terjadinya 1 Major injury (Cidera Berat/ Kematian).

Pada tahun 1969, sebuah studi tentang kecelakaan industri dilakukan oleh Frank E. Bird, Jr yang tertarik dengan Heinrich's Law /Accident Ratio Heinrich, Di sana Bird menganalisis 1.753.498 kecelakaan yang dilaporkan oleh 297 perusahaan yang bekerja sama. Perusahaan-perusahaan ini mewakili 21 kelompok industri yang berbeda, mempekerjakan 1.750.000 karyawan yang bekerja selama 3 miliar jam selama periode paparan yang dianalisis yang kemudian studi tersebut mengungkapkan rasio kecelakaan 600 incidents : 30 accidents :10 serious accidents :1 fatal accident.

Pada tahun 2003, ConocoPhillips Marine melakukan studi serupa yang menunjukkan perbedaan besar dalam rasio serious accidents dan near miss, Studi tersebut menemukan bahwa untuk setiap kematian tunggal setidaknya ada 300.000 perilaku berisiko. studi tersebut mengungkapkan rasio kecelakaan 300,000 at risk behavior : 3,000 near misses : 300 Recordable injuries : 30 Lost Workday Cases : 1 Fatality.

Karya Heinrich diklaim sebagai dasar teori Behavior-Based Safety oleh beberapa ahli bidang ini, berpendapat bahwa sebanyak 95% dari semua kecelakaan di tempat kerja disebabkan oleh tindakan yang tidak aman. silahkan baca united Steelworkers of America, "The Steelworker Perspective on Behavioral Safety. Sementara angka Heinrich bahwa 88 persen dari semua kecelakaan di tempat kerja dan luka/penyakit disebabkan oleh "man-failure"/ unsafe acts mungkin merupakan kesimpulannya yang paling sering dikutip. Heinrich sampai pada kesimpulan ini setelah meninjau ribuan laporan kecelakaan yang diselesaikan oleh pengawas, yang umumnya menyalahkan pekerja karena menyebabkan kecelakaan tanpa melakukan penyelidikan terperinci mengenai akar permasalahannya. hal ini tidak berbeda jauh dengan Dupont yang berpendapat bahwa 96% kecelakaan terjadi karena faktor manusia, karena sebagian besar kondisi tidak aman bermula dari faktor manusia. ini menegaskan bahwa unsur manusia sangat dominan dalam menjamin keselamatan dalam sebuah organisasi.

Tentunya di berbagai perusahaan atau organisasi telah banyak dilakukan upaya untuk mengukur aspek perilaku, baik dengan pendekatan safety culture atau artifact organization yang dikenal dengan safety climate atau melihat pada at risk behavior dibeberapa perusahaan bahkan menggunakan tools sederhana yaitu HOC (Hazards Observation Card) walaupun dalam pengkurannya beberapa akademisi masih menilai tools ini kurang objektif dari aspek kedalaman, reliability dan konsistensinya.

Namun demikian, dari beberapa studi empiris mengenai accident ratio  diatas tentunya banyak pula baik dari kalangan akademisi dan praktisi menilai angka tersebut terlalu tinggi contohnya 300,000 at risk behavior berpeluang untuk mendorong terjadinya 3,000 near misses, 300 Recordable injuries, 30 Lost Workday Cases dan 1 Fatality. Akan tetapi faktanya  200-300 at risk behavior dapat berpeluang menjadi 1 Fatality. untuk menjawab hal ini tentunya kami melakukan analisa dari beberapa hasil studi lapangan yang telah dilakukan, banyak faktor yang menjadi hambatan dalam proses pengukuran tersebut diantaranya adalah budaya pelaporan yang lemah dimana peranan organisasi dalam mendorong karyawan hampir tidak terlihat kemudian beberapa organisasi lebih memilih untuk menunggu "kerugian"terjadi daripada mengambil langkah untuk mencegahnya, "Pelaporan" masih menjadi "momok" yang cukup menakutkan bagi pelapornya karena takut disalahkan setelah melaporkan hal tersebut dan proses pelaporan yang diberikan cukup "complicated" sehingga banyak sekali "tanda" atau indikator yang terlihat justru diabaikan terutama at risk behavior (pada prilaku berisiko).

Analogi sederhana untuk menggambarkan accident ratio adalah pada pengguna jalan raya ketika berkendara. Anda dapat mengamati secara langsung dimana banyak sekali prilaku pengendara yang berisiko seperti tidak mengunakan helm, speeding, tidak menggunakan seat belt, menelpon pada saat mengendarai dan sebagainya.  maka jika dalam 1 menit terdapat 5 unsafe act/risk behavior maka dalam 60 menit atau satu jam dengan kondisi yang sama maka akan terdapat sekitar 300 unsafe act/risk behavior jika dalam 1 hari maka akan terdapat sekitar 7200 unsafe act/risk behavior jika dalam sebulan maka akan terdapat sekitar 216,000 unsafe act/risk behavior maka dalam periode 1 tahun angka tersebut berubah menjadi 2,592,000 unsafe act/risk behavior walaupun angka tersebut bukan merupakan angka mutlak atau absolut. Dari beberapa rasio dan gambaran diatas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi jumlah unsafe act/risk behavior & unsafe condition maka peluang terjadinya 1 fatal accident akan semakin besar pula.

Sehingga apabila organisasi dengan tidak memiliki budaya pelaporan atau pengukuran yang baik dengan demikian, Peluang untuk mencegah terjadinya incident akan hilang.

References :
Heinrich HW (1931). Industrial accident prevention: a scientific approach. McGraw-Hill. 
quoted in Hollnagel, Erik (2009). Safer Complex Industrial Environments: A Human Factors Approach

Semoga Bermanfaat & Terima Kasih
Andry Kurniawan, SKM.,MKKK.
"Coming together is a beginning, Keeping together is progress., Working together is success“ Safety not only about knowledge and how to manage risk it’s about needed because safety is everybody business",
More info: Andryzsafety@gmail.com, CP : (+62)81219662291

Tidak dilarang untuk mengcopy dan menyebarkan artikel pada situs ini dengan menyebutkan URL sumbernya. budayakan menulis karya ilmiah tanpa plagiarisme 

Sistem Pelaporan “Near Miss” (Near Miss Reporting System)

Sistem Pelaporan “Near Miss”
Apa itu “Near Miss” :
Peristiwa yang tidak direncanakan yang tidak mengakibatkan luka, penyakit atau kerusakan - namun berpotensi untuk melakukannya.
Sumber:  OSHA and the National Safety Council
Other familiar terms for these events are a “close call,” a “narrow escape,” or in the case of moving objects, “near collision” or a “near hit.”

“Near Miss” adalah indikator utama untuk KECELAKAAN, jika diteliti dan digunakan dengan benar, dapat mencegah cedera dan kerusakan

Key Point :
  1. Insiden terjadi setiap hari di tempat kerja dapat mengakibatkan cedera atau kerusakan serius
  2. Pelaporan “Near Miss” dapat membantu mencegah insiden di masa depan;
  3. Satu masalah yang harus diatasi adalah ketakutan karyawan untuk disalahkan setelah melaporkan sebuah “Near Miss” 
  4. Buatlah proses pelaporan “Near Miss” semudah mungkin - "Speak Up" & “Report it"
What are Best Practices in Establishing a Near Miss Reporting System?
  1. Leadership by all level organization harus menetapkan budaya pelaporan yang memperkuat bahwa setiap kesempatan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya, mengurangi risiko dan mencegah insiden berbahaya harus ditindaklanjuti.
  2. Tujuan Sistem Pelaporan Tidak  Mencari “The Black Sheep
  3. Investigasi “near miss incidents” untuk mengidentifikasi akar penyebab dan kelemahan dalam sebuah sistem yang menyebabkan terjadinya  “near miss”
  4. Hasil investigasi digunakan untuk memperbaiki sistem keselamatan, pengendalian bahaya & risiko serta bahan pelajaran. Semua ini merupakan kesempatan untuk pelatihan, umpan balik tentang kinerja dan komitmen untuk perbaikan terus-menerus.
Key Point :
Near miss reporting is leading indicator to preventing serious, fatal and catastrophic incidents. Source: Andry Kurniawan SKM.,MKKK,  OHSE Researcher

How Do Near Miss Reporting Prevent Future Incidents? 
  1. Banyak aktivitas keselamatan yang reaktif dan tidak proaktif, dan beberapa organisasi menunggu “kerugian” terjadi sebelum mengambil langkah untuk mencegahnya. insiden “Near Miss” sering mendahului terjadinya kegagalan produksi namun mungkin terlewatkan karena “Diabaikan”
  2. Organisasi mungkin tidak memiliki budaya pelaporan di mana karyawan didorong untuk tidak melaporkan kejadian ini. Dengan demikian, banyak peluang untuk mencegah terjadinya insiden hilang
  3. Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa sebagian besar peristiwa kecelakaan atau kegagalan baik yang serius maupun yang dahsyat, didahului oleh “peringatan” atau insiden “Near Miss” yang tidak diketahui.
  4. Melaporkan kejadian "Near Miss” dapat secara signifikan can significantly improve worker safety and enhance an organization’s safety culture 

Why Should Employers Implement Near Miss Reporting Systems?
sumber : Du-pont
  1. Mendapatkan data yang cukup untuk analisis statistik, studi korelasi dan pengukuran kinerja (dasar untuk melakukan perbaikan).
  2. Memberikan kesempatan untuk karyawan berpartisipasi dalam menciptakan kondisi yang aman
  3. Menciptakan budaya K3 dimana setiap orang berbagi dan berkontribusi secara bertanggung jawab atas keselamatan mereka sendiri dan rekan kerja mereka.
  4. Merupakan bagian dari  “leading indicator” yang digunakan untuk mengukur kinerja K3 Perusahaan
Key Point :
“By identifying near misses and taking care of them, you can improve profits and you can prevent any potential hazards that can happen to the people or the equipment.”
Source: Dr. Ulku Oktem, adjunct professor at the OIM of the University of Pennsylvania

References :
American National Standards Institute (ANSI) Z10 – 2012 Occupational Health and Safety Management Systems.
NSC Safety+Health “Everybody gets to go home in one piece – How reporting close calls can prevent future incidents”
OSHA Safety and Health Management Systems eTool: Accident/Incident Investigation

Semoga Bermanfaat & Terima Kasih
Andry Kurniawan, SKM.,MKKK.
"Coming together is a beginning, Keeping together is progress., Working together is success“ Safety not only about knowledge and how to manage risk it’s about needed because safety is everybody business",
More info: Andryzsafety@gmail.com, CP : (+62)81219662291

Tidak dilarang untuk mengcopy dan menyebarkan artikel pada situs ini dengan menyebutkan URL sumbernya. budayakan menulis karya ilmiah tanpa plagiarisme 

Check This Out (2)

Check This Out (3)